Fana dan Baqa???
Fana dalam makna leksikalnya adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan
dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk
kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk
digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana.
Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang,
memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini
tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa
seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi
dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam
hatinya.
Maqâm Fana dalam Tasawuf
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya
perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam
sekitarnya.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang
Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan
pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya
suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna
apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.
Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri
sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya,
dan dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah
dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan
adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya
ini pun akan tersingkap, "Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan
penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek
hijab-hijab cahaya." Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah
itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang
Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di
sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan
Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan.
Realitas fana ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat Tuhan,
karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun
makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.
Penjelasan Detail:
Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran. Lawan dari fana
adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan
dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan,
seperti: "Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu,"
Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan
kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa
hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu
selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Akan tetapi, makna gramatikal fana tidak bersesuaian dengan makna
leksikalnya. Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan,
memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri. Namun hal ini tidak
berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak
menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang
dipandang.
Istilah fana’ kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan
makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,
pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian
memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-
Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri
juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”
atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,
yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang
hilang
hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi
akan
eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana
the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves
baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives
in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or
baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni,
“Fana,
sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan
wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup
bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,
menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,
menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang
bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga
tidak
ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”
Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah
fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah
baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.
Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya
maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya
maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan
perantaran-Nya."
Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat
buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas
dikatakan baqa."
Maqâm Fana
Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqâm;
2. Hâl.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara
ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah
bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan
segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit
untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan
yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh
seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan
diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm
tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan
tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang
sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu
tidak akan turun dan sirna dengan mudah.
Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah
suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa
kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena
perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin
akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu
kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus
mengalami suatu perubahan.
Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri,
penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan
alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang
Haq.
Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna
leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan
kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa
yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang
Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah"
(fana dalam sifat-sifat Tuhan).
Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa
dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya,
maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat
besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan
kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada
keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat
penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan
ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.
Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak
tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam
kesempatan ini. Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan
dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan…
adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana
dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan
dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi
dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak
disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba
ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka
-sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan
segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan
tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan
Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya
sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."
Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika
berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari
pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana
dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."
Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna
dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim
dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan
secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?
Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya
kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs
dalam kitabnya "Arbain Hadis". Beliau dalam kitab itu mengungkapkan,
"Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total
perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam,
menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri,
perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut
dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian
hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan
cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan
manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk
dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama
dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah
mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan)
tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada
Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran
eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."
Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam
Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat
sya'baniyah: "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan
dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."
Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni
Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan
lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk
memperihalkan tentang maksud fana. Ulama-ulama lainnya yang banyak
menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan
istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap'
dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau
'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang
fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi
melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka
dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya
sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya
sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya
segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap
sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:
"Tasauf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya
kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah
Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang
diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. Sayyidina Ali
sering memperkatakan tentang fana. Antaranya :
"Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah
bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan
fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan
Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan
yang kuat untuk bertemu dengan Allah(Salik). Firman Allah yang
bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan
siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua
kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:
* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua-
sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji
iaitu Takhali dan Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga
yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat.
Itulah ertinya memfanakan diri.
Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu
Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering
mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi
Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda
berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;
"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan
berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."
Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham
al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya
telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam
dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh
mencapai Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah.
Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati
bahawa Allah itu segala-galanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan
membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat
memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak
dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di
keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera.
Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan
saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa , Fana’ berbeda dengan al-Fasad
(rusak). Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau
rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli
sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya
sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat
ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya
inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka
pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat
ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam
wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam
makhluk . Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat
buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti
kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya
sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena
sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan
tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini
menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka
:”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah
yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari
dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama
Allah”.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi
dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur
eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak
menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang
dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap
ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada
mereka dan pada dirinya .
Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan
melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut
Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut
Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya
dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs. Apabila seorang
sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud
jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia
bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’
dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan
Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan
demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur,
demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya
kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad
kasarnya.
Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa
berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan
menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai
hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya
sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada
Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah
kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang
menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi...
Halaman Berikutnya
Baca halaman selanjutnya diatas page ini..
BalasHapus